Grosir Baju Murah
 
 
Solo, CyberNews. Panitia penyelenggara Kirab Boyong Kedhaton menyiapkan empat replika simbol budaya Kota Solo. Keempat replika itu di antaranya Canthik Rajamala, Panggung Sangga Buwana, Kuluk Kanigara dan sebentuk perahu.

Pantauan Suara Merdeka Senin (15/2), keempat replika itu masih dalam proses pengerjaan di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Replika tersebut dikerjakan para seniman seni rupa dari ISI Surakarta baik itu yang masih berstatus mahasiswa atau pun alumnus.

"Sudah lumayan proses pengerjaannya. Mudah-mudahan sehari menjelang kirab sudah jadi," ujar Joko Aswoyo, tim kreatif pembuatan replika simbol budaya tersebut.

Bahan-bahan untuk membuat replika yang rata-rata sebesar kendaraan roda empat itu antara lain dari bambu dan semacam gabus dalam berbagai bentuk dan fungsi.

Dalam kirab nanti masing-masing akan digunakan sebagai tempat untuk menari, gamelan laras slendro dan pelog serta gamelan sekaten.

Baik itu Sangga Buwana, Canthik Rajamala atau pun Kuluk Kanigara merupakan simbol budaya Kota Solo yang selama ini lekat dalam kehidupan Keraton Surakarta. Sangga Buwana bahkan sampai sekarang masih berdiri megah di dalam keraton. Sementara Canthik Rajamala yang sekarang tersimpan di Museum Radya Pustaka merupakan mahkota perahu SISKS Paku Buwono IV.

( Wisnu Kisawa / CN13 )
sumber : suaramerdekaonline
 
Menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, sejumlah rumah ibadah kelenteng di Solo bersolek. Salah satunya adalah Kelenteng Poo An Kiong. Sejak beberapa hari terakhir, segala persiapan dilakukan oleh para pengurus kelenteng yang berada di Jalan Yos Sudarso 122 Solo, Coyudan.
Menurut Maryono Honggowiyono (45), pengurus kelenteng, pihaknya merasa perlu melakukan persiapan, lantaran menjelang Imlek, biasanya banyak acara ibadat yang digelar. Di samping itu, kunjungan umat dari berbagai daerah, juga sering dilakukan di kelenteng yang dibangun sejak tahun 1818 tersebut.
“Kami menyiapkan segala keperluan ibadat, termasuk membersihkan kelenteng, setiap sudut ruangan dan meja altar,” ungkap Maryono kepada Joglosemar, kemarin. Dijelaskan, tak jarang umat yang berasal dari Surabaya, Jakarta dan Kalimantan, ingin melakukan ibadah di Kelenteng Poo An Kiong.
Memperingati Imlek, juga berarti menghormati berbagai dewa serta sesama manusia. Di dalam Kelenteng Poo An Kiong, yang berarti kelenteng Membawa Kedamaian dan Kebahagiaan itu, setidaknya ada tiga penganut keyakinan yang berbaur, yaitu umat Tao, Budha dan Konghucu. Untuk itulah, Kelenteng Poo An Kiong disebut sebagai Tempat Ibadah Tri Darma. Ketiga umat itu berbaur untuk melakukan ibadat dan sesembahan pada Dewa yang mereka hormati.
Berbagai tradisi dan ritual hidup selama ratusan tahun, digelar di kelenteng tua itu. Salah satunya adalah tradisi berdoa dengan air berkah. Air berkah yang sudah disembahyangkan, menurut Maryono, berfungsi untuk menjaga keselamatan.
Disebutkan, kelenteng itu memiliki dua belas altar Dewa. Di antaranya Thian Kong (Tuhan Yang Maha Esa), Para Sin Beng (Para Dewa seluruh kelenteng), Kong Tek Cun Ong (Dewa Pelindung), Ka Lam Tay Ong (Dewa Kehakiman), Hok Tik Cing Sin (Dewa Bumi), Pek Hauw Sin (Dewa Macan Putih), Hian Thian Siang Tee (Pengusir Roh Jahat), Kiang Cut Gee (Dewa Kesabaran), dan Kwan Im Poo Sat (Dewi Welas Asih).
Tak hanya Dewa-dewa suci yang menjadi tuntunan ibadah. Namun di kelenteng itu juga terdapat aturan beribadah, layaknya tempat ibadah lain. Tan Liong Tik (45), Pimpinan Kelenteng menjelaskan, ada beberapa urutan peribadatan. “Ada urut-urutan dalam beribadah. Pertama berdoa kepada Thian Kong, Dewa-dewa pendamping, Dewa Tuan Rumah, serta Dewa yang lainnya,” ungkap dia. (Donna Setyaningsih/Farrah Ikha Riptayani)

sumber ; joglosemar.com
This is your new blog post. Click here and start typing, or drag in elements from the top bar.
 
Senin, 01 Februari 2010 | 13:22 WIB

TEMPO Interaktif, Magelang - Pengelola Candi Borobudur, PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko, menetapkan aturan baru bagi pengunjung candi yang bercelana pendek agar mengenakan kain sarung. "Mulai hari ini diberlakukan," kata General Manager Unit Borobudur Pujo Suwarno, Senin (1/2).

Pelarangan pengunjung bercelana pendek ini, kata dia, dilakukan untuk menghargai candi sebagai warisan budaya yang berusia ribuan tahun. Candi Borobudur dipercaya dibangun oleh Wangsa Syailendra pada abad 8 masehi.

Penghargaan terhadap warisan ini, lanjut dia, bisa dimulai dengan mengenakan pakaian yang lebih sopan dan sesuai dengan adat ketimuran. "Itu bagian dari sikap dan perilaku," kata dia.

Sebanyak 2.000 lembar kain sarung disediakan di awal pelarangan ini. Selama satu bulan uji coba ini, kain itu akan dipinjamkan secara gratis pada para wisatawan yang datang. Setelah masa satu bulan itu, penyedian kain sarung bagi pengunjung diserahkan pada warga dan perajin batik di sekitar candi.

Selain melarang bercelana pendek, manajemen juga melarang pengunjung mengenakan sepatu atau sandal berhak tinggi. "Ini biasanya wanita (yang pakai)," kata Pujo.

Sebuah lembaga peneliti candi, kata Pujo, menyebutkan sepatu atau sandal berhak tinggi yang dipakai pengunjung, dapat merusak batu-batu candi. Butiran pasir yang terbawa alas kaki pengunjung itu membuat gesekan dengan batu candi. Akibatnya, batu yang telah berusia ribuan tahun itu tergores dan rusak.

Sebelum dilakukan pelarangan bercelana pendek ini, pihak pengelolah telah melakukan survei. Riyanto, petugas seksi operasional Candi Borobudur, menyatakan pada Sabtu pekan kemarin, sedikitnya 300 pengunjung bercelana pendek. Jumlah ini termasuk pengunjung wanita yang mengenakan rok pendek di atas lutut.

Adapun sejak dibuka pukul 8 pagi hingga pukul 10 siang ini, sebanyak 14 wisatawan domestik dan 10 wisatawan mancanegara yang datang berkunjung ke Borobudur dengan bercelana atau mengenakan rok pendek.

Menurut dia, larangan ini hanya berlaku bagi pengunjung bercelana atau yang mengenakan rok pendek. Bagi pengunjung bercelana atau rok panjang bisa tetap berkunjung tanpa mengenakan kain sarung.

ANANG ZAKARIA

 
Grosir Baju Murah